Jumat, 31 Januari 2014

Obat itu bukanlah satu-satunya solusi

Uda lama nih ga nulis blog. Ok deh, hari ini aku mau nge-share tentang pengalaman 'sakit'ku 2 hari belakangan. Maklum musimnya sakit. Bener-bener deh akhir-akhir ini angin surabaya kenceng banget bercampur panas, hawa-nya juga ga enak. So, bener-bener harus jaga kesehatan.

Tapi 2 hari lalu aku nekat aja tuh minum es teh gopek di kampus, seger banget di tenggorokan. Kenekatan ini bukan tanpa alasan, karena selama ini diriku emang jarang banget sakit. Banyak yang bilang kalo tubuhku ini kurus, tapi aku selalu ngebela diri "Gapapalah kurus, yang penting kan sehat" hehe.. Bener lho, dari aku kecil sampe sekarang ini aku ga pernah sampe opname di RS, paling banter ke RS itu cuman nganter orang sakit, jenguk sodara ato temen. Alhamdulilah dah Allah ngasih aku tubuh yang ga gampang sakit. Palingan cuma sakit flu, panas, sakit tenggorokan, maag, diare. Itupun juga jarang-jarang.

But, karena kenekatan 2 hari lalu, akhirnya aku sakit juga. Flu plus rada' demam dikit.

***

Ngomong-ngomong tentang sakit, aku paling anti dengan obat. Padahal ayahku adalah tipe orang yang kalo sakit dikit, ato ngeliat anaknya sakit, langsung segera berobat ke dokter. Yah, emang kekhawatiran seorang ayah. Tapi aku bener-bener paling anti sama obat.

Bisa dibilang aku ga percaya sama obat. Karena obat adalah campuran senyawa-senyawa kimia, dan aku ga mau badanku dimasuki senyawa-senyawa kimia itu. Orang jaman dulu aja bisa sehat tanpa campuran senyawa kimia, dan obat yang dipake orang jaman dulu emang jauh lebih alami daripada sekarang. Bahkan temenku yang anak farmasi yang notabene mempelajari cara membuat obat juga bilang ke aku, "Jangan terlalu percaya sama obat. Obat itu emang bisa menyembuhkan penyakitmu saat itu, tapi di sisi lain ia juga akan memicu penyakit lain." Nah lhoo...

Alhasil tiap aku sakit diare ato maag sebisa mungkin ga minum obat. Kecuali dalam keadaan terpaksa akhirnya cuma minum 1 tablet aja. Pas mendingan uda ga minum lagi.


Sama kayak sakitku yang sekarang ini. Flu dan demam. Aku sama sekali ga minum obat. Untuk penyakit yang satu ini aku uda punya solusi tersendiri. Mau tau? Uda lama aku nerapin ini, dan alhamdulilah selalu ampuh.

Jadi intinya begini.. Kalo kita sakit demam tuh badan kita berasa anget sekaligus ngerasa 'adem' yang berlebihan. Nah kalo uda begini badan jadi susah keringetan. Pada kondisi normal yang harusnya badan mudah keringatan, tapi kalo lagi demam bawaannya susah banget buat ngeluarin keringat. Alhasil solusi dari penyakit demam adalah gimana caranya supaya badan kita bisa keringetan.

Sooo, malem itu pas aku ngerasa badanku demam, aku langsung matiin kipas angin, pake jaket rangkap 2 kemudian seluruh tubuh ditutupi selimut. Lalu posisi tidurku model orang sujud, dengan posisi bantal tetap sebagai alas kepala. Ya, ini metode aku bikin sendiri. Tapi alhamdulilah selalu mujarab untuk mengeluarkan keringat. Alhasil besoknya pas bangun badanku uda berasa mendingan. Paling cepat 2 hari uda sembuh.

Dan satu lagi... kebanyakan orang sakit demam itu males kemana-mana. Pengennya istirahat di kasur muluuu. Eitsss, persepsi itu salah besar! Kalo menurutku orang sakit demam itu harus banyak gerak. Ya, banyak gerak buat ngeluarin keringat. Kalo tubuh dimanjain terus buat berbaring di kasur itu justru malah bikin sakit dan ga sembuh-sembuh. Percaya deh...

Beberapa kali pas sakit demam, aku nekat tetep keluar rumah jalanin aktivitas kayak biasanya, dan alhamdulilah bisa cepet sembuh juga.


Logika simple-nya itu ibarat sholat. Tau kenapa Allah mewajibkan kita sholat 5 waktu dalam sehari? Selain untuk ibadah, Allah itu sebenarnya 'care' sama kita, Allah pengen tubuh kita sehat. Allah itu yang menciptakan kita. So, Allah Maha Mengetahui kalo tubuh kita ini perlu untuk gerak tiap harinya. Dan betul aja, setelah diteliti ternyata sholat emang memberikan manfaat yang luar biasa positif bagi tubuh kita.

Nah kalo kita sakit, banyakin gerak. Sholatnya jangan ditinggal tuh, jangan jadiin alasan badan lemes akhirnya sholatnya diakhirkan. Gimana mau sembuh? Lengkapi juga dengan bacaan Qur'an, karena salahsatu manfaat Al-Qur'an yaitu sebagai Asy-Syifa (penyembuh).

Positif thinking aja, insyaAllah bisa segera sembuh. Dan jangan lupa untuk 'ridha' dengan sakit yang sedang Allah berikan, karena sakit itu bisa menggugurkan dosa-dosa kita :) dan tentunya sebagai pelajaran bagi kita untuk lebih bersyukur ketika sehat.

Kamis, 09 Januari 2014

Setitik Cahaya di Langit UBAYA (part 1)

Uda nonton film 99 Cahaya di Langit Eropa? Recommended banget buat kamu-kamu yang suka nonton film and pengen mempelajari islam lebih dalam. Cerita dari film ini beda dengan lain. Ada hikmah tersendiri yang bisa kita ambil, tentang perjuangan seorang muslim yang mempertahankan keyakinannya di negara asing.

But, postingan kali ini sama sekali bukan tentang review film. Bukan. Sama sekali bukan. Aku hanya pengen cerita tentang pengalaman pribadiku yang kurang lebih hampir sama dengan film tersebut.

Kalo film ini berjudul “99 Cahaya di Langit Eropa”, maka aku menamai kisahku ini dengan “Setitik Cahaya di Langit UBAYA”. Kenapa cahaya? Dan Kenapa UBAYA? Well, UBAYA adalah nama kampusku. Kampus yang penghuninya mayoritas nonmuslim. Kampus yang notabene hanya menjadi pilihan alternatif bagi para pemburu ilmu. Kampus yang terkenal karena biaya kuliahnya.


Kampus ini kampus UBAYA.

Namun dengan segala kekurangannya itu, ada setitik cahaya yang kutemukan dan kurasakan disini. Setitik cahaya yang tidak sembarang orang bisa menemukannya. Cahaya kasat mata yang bersinar terang.

***

Masih teringat jelas tentang bagaimana perasaan takutku ketika pertama kali masuk kuliah di kampus ini. SYOK.

SYOK karena lingkungannya yang 180 derajat berbeda dengan lingkungan SMA-ku.
SYOK karena muslim disini sangat minoritas.
SYOK karena hanya ada 6 orang muslim (termasuk aku) di angkatan jurusanku.
SYOK karena  aku satu-satunya yang berjilbab diantara 80 orang tersebut.

Rasa-rasanya aku ingin mundur dan memilih tempat kuliah yang lain. Sempat menyesal kenapa aku tidak meminang Universitas Brawijaya saja sebagai tempat kuliahku (padahal aku diterima SNMPTN disana). Tapi lagi-lagi aku teringat dengan solat istikhoroh yang uda aku lakukan sebelumnya. Petunjuk Allah yang membuatku rela untuk memilih UBAYA ketimbang UNBRA. Ya, kalo keinget ini aku langsung berpositif thinking kembali : “Pasti.. Pasti ada alasan kenapa Allah menunjukkanku untuk kuliah disini. Pasti.. Pasti ada ‘sesuatu’ yang ingin Allah sampaikan ke aku.”

Lagipula, bukankah Allah sebaik-baik Perencana? Oke, kuputuskan untuk bertahan saat itu.

Sebagai mahasiswa baru yang masih labil, banyak keluh kesah yang ingin aku utarakan sebenarnya. Ya, beberapa kali hati menjerit karena ketidaknyamanan yang kurasakan di kampus ini. Masa-masa pertama ospek, masa-masa pertama kuliah yang bagiku semakin memperjelas identitasku yang minoritas disini. Aku tidak menyalahkan lingkungan, mereka para nonmuslim itu baik-baik kog, namun aku sendiri yang merasa kurang bisa beradaptasi. Aku sendiri yang menolak kenyataan ini. Menolak kenyataan berada dikampus yang muslimnya minoritas. Persis! Kuliah disini ibarat kuliah di Hongkong.

Saat itu aku ga tau harus bercerita ke siapa, ingin cerita ke orangtua tapi aku tidak ingin memberatkan mereka. Aku selalu ingat bahwa ayahku paling tidak suka melihat anaknya mengeluh, ayahku selalu ngasih nasehat kalo kita harus kuat nerima ujian hidup, hadapi dengan tindakan bukan tangisan. Jadi, hal ini lah yang mengurutkan niatku untuk bercerita ke ortu..

So, akhirnya aku mencari tempat pelarian. Dan tempat pelarianku ini berujung pada CAHAYA yang pertama, yaitu sebuah bangunan berukuran 9 x 9 meter bernama masjid Al-Hidayah.

Masjid ini kecil. Kecil untuk ukuran sebuah masjid. Sungguh, kalo dibandingkan dengan kampus lain, masjid Al-Hidayah UBAYA ini hanya seukuran toiletnya masjid ITS. Kecil banget kan? Katanya sih, dari jaman dulu sampe sekarang ukurannya tetep segitu, kagak berubah. Ya mungkin karena kampus ini multicultural, jadi agak susah kalo mau diperbesar.

Masjid ini kecil tapi istimewa bagiku. Istimewa karena bercahaya, sehingga mampu menarikku kesana. Sela-sela jeda sholat dhuhur dan ashar aku akan berlari kesini, melepaskan keluh kesah yang sudah menumpuk di otak. Ya, disini adalah sebaik-baiknya tempat mengadu, karena aku bisa mengadu sepuas-puasnya pada Allah.

Entah kenapa sholat tiba-tiba kerasa jadi khusyuk. Aku ingin Allah mendengar semua keluh kesahku. Dan aku yakin Allah pasti Maha Mendengar semua yang aku utarakan saat itu. Ya, pasti. Ketika mengadu kepada-Nya aku merasa seperti setitik pasir ditengah luasnya daratan UBAYA. Ada ketenangan yang kurasakan ketika sholat disini. Aku lega, karena aku punya tempat untuk mengadu.

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (Q.S Ar-Ra'd : 28)

Dan benar, seketika keresahan hilang. Aku punya Allah sebagai pegangan. Ujian yang akan kuhadapi kedepan selama kuliah, aku rasa aku bisa melewatinya kalo aku berpegangan pada Allah.

Selain itu, ada hal lain yang aku suka dari masjid ini. Aku suka ngeliat pemandangan orang keluar masuk tempat wudhu, memakai mukena kemudian bersimpuh pada-Nya. Pemandangan ini entah kenapa bisa menghibur hatiku. Ya, setidaknya aku merasa bahwa aku tidak sendirian disini. Aku bukan satu-satunya muslim disini.


Ya, CAHAYA pertama itu adalah Masjid Al-Hidayah.

(bersambung...)